Evidence Base Persalinan
a. Bentuk
Asuhan yang Bermanfaat
1) Penatalaksanaan
aktif persalinan kala 3 (mengurangi kehilangan darah setelah persalinan).2
Hasil penelitian
menunjukkan manajemen aktif kala III mengurangi kejadiaan PPH, memperpendek
kala III, kebutuhan akan trasfusi menurun, kondisi uterus membaik secara
signifikan. Pengelolaan Aktif persalinan kala tiga terdiri atas intervensi yang
digunakan untuk mempercepat pelepasan plasenta dengan meningkatkan kontraksi
uterus dan untuk mencegah perdarahan pasca persalinan serta menghindari atonia
uteri.
Berbeda dengan
Pengelolaan Aktif, Pengelolaan Menunggu ( Konservatif / fisiologis ) adalah
menunggu tanda – tanda bahwa plasenta sudah lepas dari dinding uterus ( tali
pusat bertambah panjang, uterus globuler dan semburan mendadak dan singkat),
dan membiarkan plasenta lahir secara spontan. Pengelolaan menunggu juga
merupakan cara pertolongan pada sebagian besar kelahiran di rumah di Negara –
Negara berkembang.
WHO merekomendasikan Pengelolaan Aktif Kala
III untuk setiap persalinan. Beberapa studi berskala besar, yang dilakukan
secara acak dan terkontrol (dilakukan di RS yang memiliki perlengkapan yang
lengkap ) membandingkan pengaruh Pengelolaan Aktif Kala III dengan Pengelolaan
Menunggu. Pada suatu percobaan di Dublin,Irlandia , 705 ibu bersalin ditangani
secara aktif dengan 0,5 ergometrin dan dilakukan penegangan talipusat
terkendali, sementara 724 ibu bersalin ditangani secara menunggu
/fisiologis. Hasil dari
percobaan tersebut adalah berkurangnya perdarahan pasca persalinan dan
berkurangnya kasus anemia di antara ibu bersalin yang mendapat penanganan Pengelolaan
Aktif Kala III. Ibu bersalin yang ditangani dengan aktif secara bermakna menurunkan
kasus perdarahan pasca persalinan, dan sisa plasenta serta lebih sedikit memerlukan
tambahan obat – obatan uterotonika. Tidak satupun dari studi – studi tersebut di atas
memperlihatkan meningkatnya kasus komplikasi serius sehubungan dengan
Pengelolaan aktif.
Di Indonesia, uterotonika yang digunakan
umumnya adalah oksitosin. Suatu meta – analisa dari studi – studi tersebut,
yang tersedia melalui database Cochrane dan WHO reproductive Health Library
menegaskan bahwa pengelolaan aktif berkaitan dengan berkurangnya kehilangan
darah ibu ( termasuk Perdarahan Post Partum biasa hingga berat ), berkurangnya
anemia setelah persalinan dan berkurangnya kebutuhan terhadap trasfusi darah1.
Pengelolaan aktif juga berkaitan dengan berkurangnya risiko kala III yang
patologis dan berkurangnya pemakaian obat – obat uterotonika yang berlebihan, sehingga
manajemen Aktif Kala III penting dilakukan.14
Oksitosin dan traksi
tali pusat adalah intervensi utama dari manajemen aktif dikaitkan dengan tahap
ketiga lebih pendek, dan kehilangan darah berkurang dan hemorrage postpartum.4
Dua Metoda
Penata-laksanaan Kala Tiga
§ Penata-laksanaan
Fisiologis (“pengharapan”)
o Oxytocic
tidak digunakan
o Plasenta
lahir oleh gravitas serta upaya ibu itu sendiri
o Tali
pusat di klem setelah plasenta lahir
§ Penata-laksanaan
Aktif
o Oxytocic
diberikan
o Plasenta
dilahirkan dengan penegangan tali pusat secara terkendali dengan kontra
penegangan pada fundus
o Masase
fundus uteri
2) Terapi
Magnesium Sulfat untuk wanita penderita eklampsia (lebih efektif dibandingkan
diazepam dan lainnya) untuk mengatasi kejang-kejang
3) Pemberian
zat besi dan asam folat secara rutin (mengurangi kejadian anemia ibu pada saat melahirkan
atau 6 minggu pasca persalinan)2
b. Mengapa
Mengubah Cara Praktek Kita?
1) Angka
Kematian Ibu tetap dan di beberapa daerah malah meningkat
2) Meningkatnya
akses terhadap bukti-bukti penelitian
3) Banyak
teknologi baru yang diperkenalkantanpa bukti penelitian yang jelas tentang keuntungannya
4) Berubahnya
pengharapan para ibu,2
c. Praktek
– praktek yg jelas merugikan atau tidak efektif
1) Rutin
:
a) Penggunaan
enema secara rutin
Enema adalah larutan
yang dimasukkan dalam rektum dan kolon sigmoid. Alasan utama :untuk meningkatkan
defekasi dengan menstimulasi peristaltik. Volume cairan yangdimasukkan akan
memecah massa feses, meregangkan dinding rektum, kadang-kadangmengiritasi
mukosa usus,dan mengawali refleks defekasi. Juga digunakan untuk alat
transportasi obat-obatan yang menimbulkan efek lokal pada mukosa
rektum.Indikasinya adalah menghilangkan konstipasi untuk sementara, membuang
feses yang mengalami impaksi, mengosongkan usus sebelum pemeriksaan diagnostik,
pembedahan,atau melahirkan, dan memulai program bowel training.6
b) Pencukuran
bulu pubis secara rutin
c) Infus
Intravena secara rutin pada persalinan
d) Pemasukaan
cateter ke uretra
e) Pembilasaan
uterus yang rutin setelah melahirkan
f) Merogoh
uterus secara rutin setelah melahirkan
d. Praktek
– praktek yang sering dugunakan tidak tepat / tidak sesuai
1) Pembatasan
makanan dan minuman selama persalinan
2) Pemeriksaan
vagina secara berulang – ulang terutama oleh lebih dari satu pemberi asuhan
3) Secara
rutin memindahkan ibu yang bersalin keruangan lain pada saat permulaan kala dua
4) Mendorong
ibu meneran ketika pembukaan serviks penuh atau hampir penuh setelah
didiagnosis, sebelum ibu merasa ada dorongan untuk meneran
5) Menuruti
secara kaku ketentuan lamanya kala dua persalinan, misalnya 1 jam, padahal
kondisi ibu dan janin adalah baik dan ada kemajuan persalinan
6) Pemakaian
yang liberal atau rutin episiotomy
Tindakan episiotomi
pada proses persalinan sangat rutin dilakukan terutama pada primigravida. Padahal berdasarkan penelitian tindakan rutin
ini tidak boleh dilakukan secara rutin pada proses persalinan karena :
a) Episiotomi
dapat menyebabkan perdarahan karena episiotomy yang dilakukan terlalu dini,
yaitu pada saat kepala janin belum menekan perineum akan mengakibatkan
perdarahan yang banyak bagi ibu. Ini merupakan “perdarahan yang tidak perlu”.
b) Episiotomi
dapat enjadi pemacu terjadinya infeksi pada ibu. Karena luka episiotomi dapat
enjadi pemicu terjadinya infeksi, apalagi jika status gizi dan kesehatan ibu
kurang baik.
c) Episiotomi
dapat menyebabkan rasa nyeri yang hebat pada ibu.
d) Episiotomi
dapat menyebabkan laserasi vagina yang dapat meluas menjadi derajat tiga dan
empat.
e) Luka
episiotomi membutuhkan waktu sembuh yang
lebih lama.
Karena
hal – hal di atas maka tindakan episiotomy tidak diperbolehkan lagi. Tapi ada
juga indikasi yang memperbolehkan tindakan epsiotomi pada saat persalinan.
Antara lain indikasinya adalah :
§
Bayi berukuran besar
Jika
berat janin diperkirakan mencapai 4Kg, maka hal ini dapat menjadi indikasi
dilakukannya episiotomy.Tapi asalkan pinggul ibu luas karena jika tidak maka
sebaiknya ibu dianjurkan untuk melakukan SC saja untuk enghindari factor resiko
yang lainnya.
§
Perineum sangat kaku
Tidak
semua persalinan anak pertama dibarengi dengan perineum yang kaku. Tetapi bila
perineum sangat kaku dan proses persalinan berlangsung lama dan sulit maka
perlu dilakukan episiotomi.
§
Perineum pendek
Jarak
perineum yang sempit boleh menjadi pertimbangan untuk dilakukan episiotomi,
Apalagi jika diperkirakan bayinya besar.Hal ini meningkatkan kemungkinan
terjadinya cedera pada anus akibat robekan yang melebar ke bawah.
§
Persalinan dengan alat bantu atau sungsang
Episiotomi
boleh dilakukan jika persalinan menggunakan alat bantu seperti forcep dan
vakum. Hal ini bertujuan untuk membantu mempermudah melakukan tindakan. Jalan
lahir semakin lebar sehingga memperkecil resiko terjadinya cideraakibat
penggunaan alat
f) Pemakaian
yang liberal atau rutin amniotomy
g) Penekanan
fundus selama persalinan
Peranan
pendorongan puncak rahim (fundal pressure) atau dikenal dengan perasat
Kristeller saat kala II persalinan masih kontroversi. Tindakan ini dilakukan
untuk mempercepat keluarnya bayi (mempersingkat kala II). Namun tindakan ini
menyimpan potensi bahaya yang besar, yaitu bisa terjadinya robekan rahim dan
cedera pada bayi yang bisa membahayakan keduanya.
Sulit
sekali mengukur dengan akurat tingkat cedera ibu-janin dengan penggunaan
tekanan pada puncak rahim untuk mempersingkat kala dua persalinan (Perasat
Kristeller). Namun, jika terjadi cidera maka ada implikasi medis-hukum bagi
penyedia layanan (bidan, dokter) yang terlibat.
Ketika
kontraksi rahim tidak efektif meskipun sudah diberi obat perangsang kontraksi
(oksitosin), maka penolong persalinan sering melakukan tindakan mendorong perut
ibu bersalain (bulin) dengan manuver yang disebut "Kristeller",
Tindakan mendorong ini dilakukan dengan berbagai cara seperti menggunakan
lengan, tangan, siku, dan bahkan lutut, dengan maksud membantu kekuatan
kontraksi agar bayi bisa lahir.
Sayangnya
disamping membantu, tindakan ini juga memiliki risiko karena dapat menyebabkan
robeknya rahim, lepasnya plasenta, robekan jalan lahir (kerampang) dan gangguan
pada janin berupa asfiksia (sesak nafas), cedera pada bahu janin dan kerusakan
otak janin. Komplikasi2 diatas tentunya dapat menyebabkan kematian ibu dan atau
janin.
Manuver
Kristeller ini dipergunakan secara luas terutama di negara2 yg sedang
berkembang. Kesimpulan terakhir tidak ditemukan manfaatnya melakukan tindakan
ini (Merhi & Awonuga 2005). Sehingga sekarang tindakan ini tidak dianjurkan
lagi.5
h) Kateterisasi
kantong kemih
Komentar
Posting Komentar